Awalnya kupikir dunia ini telah dipenuhi oleh manusia-manusia egois. Generasi terakhir yang bergerak menuntun dunia menuju ambang kehancuran. Konon katanya hanya dalam hitungan detik, kita akan melihat sebuah dunia yang benar-benar baru. Dunia yang berbanding terbalik dengan dunia yang kukenal dulu begitu damai dan bertaburan cinta kasih.

Kata mereka bumi ini sudah tak layak lagi menyandang gelar ‘hunian ideal’ bagi manusia. Akhir-akhir ini banyak suara yang mengeluh kegerahan. Kata mereka bumi ini sudah penuh sesak oleh manusia-manusia egois yang selalu merasa dirinya paling benar, paling suci, tak bercela noda setitik pun. Tetapi aku percaya, masih ada secercah cahaya terang di tengah kelamnya dunia.

            Namanya Taka, kami berteman akrab sejak kami duduk di bangku Sekolah Dasar. Tetapi aku tidak tahu latar belakang keluarganya dengan jelas. Lagipula ia selalu mengelak untuk bercerita. Hanya satu hal yang kutahu tentang Taka, bahwa ia seorang Jepang yang bermigrasi ke Indonesia. Aku dan Taka bagaikan bayi kembar siam yang selalu melekat erat satu sama lain. Semasa sekolah kami selalu mengikuti kegiatan yang sama, selalu berada dalam kelas yang sama, bahkan selalu duduk dalam satu bangku. Meski begitu aku tak pernah bosan bertemu dengannya, menyapanya setiap pagi, juga berbagi cerita dengannya sepanjang hari.

            Setiap orang yang pernah berjumpa dengan Taka, pasti akan menilai Taka sebagai pribadi yang ceria dan penuh semangat. Dia seolah tak pernah berhenti tertawa. Tetapi hanya akulah, orang terdekatnya, yang selalu memperhatikan satu rutinitasnya yang mungkin terlewat dari pengamatan orang lain. Tentu saja tak seorang pun mampu menerkanya. Rutinitas itu hanya melibatkan sepersekian detik dari 86.400 detik waktunya dalam sehari. Rutinitas itu hanya mengubah mimik wajahnya dalam sekelebat, perubahan yang tak mungkin disadari oleh orang-orang yang hanya mampir sejenak dalam hidupnya. Tetapi aku telah mengarungi bertahun-tahun hidupku di sisinya, jadi aku dapat melihatnya. Bahwa ada saat-saat tertentu ketika Taka tampak begitu terbebani. Entah oleh apa.

            “Sahabat, ceritakanlah padaku apa yang selama ini merisaukanmu?”

            Ia tergelak, kemudian berkata, “Sudah kuduga. Suatu hari kamu pasti akan menyadarinya dan menanyakannya padaku. Dan kini, hari itu telah tiba. Tahukah kamu bahwa tidak ada yang lebih merisaukanku daripada noda-noda itu?”

            “Noda-noda itu? Noda apa?”

            Taka tak pernah menjawabnya. Bertahun-tahun ia membiarkanku hidup dengan dibayangi tanda tanya besar tentangnya, juga perihal noda-noda yang tak kumengerti itu. Sejak saat itu aku melihat Taka seperti sebuah pohon besar dengan begitu banyak ranting bertumpu padanya. Rumit. Misterius. Sejak saat itu pula aku merasa ia mulai bergerak menjauh menuju alam yang tak kukenali.

 

            Pada suatu siang yang terik, aku dan Taka duduk di halte untuk menunggu bus kota yang setia mengantar kami pulang ke dalam pelukan keluarga tercinta.

            Hening berbahasa. Tak satu pun kata terucap. Aku dan Taka telah bermetamorfosis menjadi dua orang asing. Dua orang asing yang selalu duduk berdua di halte. Dua orang asing dalam satu kelas. Dua orang asing yang masih sering berbicara, namun tak lagi saling mengenal. Dalam hati aku meronta, menginginkan persahabatan itu hadir kembali. Akan tetapi musim penghujan telah menjelma kemarau. Sedangkan harapanku tak kunjung mewujud nyata. Kupikir Taka, sahabat kecilku yang ceria, telah tiada.

            Aku teringat tujuh tahun yang lalu, di halte ini juga, aku dan Taka duduk berdua. Segalanya sama, kecuali seragam putih merah yang kala itu melekat di tubuh kami yang mungil. Kala itu aku tengah meniup cairan sabun yang mampu menghasilkan gelembung-gelembung udara yang beterbangan di sekeliling kami. Taka kecil berlari-lari mencoba meraih gelembung-gelembung itu. Aku tidak pernah lupa binar-binar di mata sipitnya yang kini tidak pernah lagi kujumpai.

            “Alangkah menyenangkan jika aku tercipta sebagai gelembung-gelembung ini. Mereka sangat ringan seolah tanpa beban, juga bening seolah tanpa dosa,” ujar Taka yang masih berlari mengejar gelembung-gelembung itu.

            “Kalau begitu suatu hari aku akan membuat satu gelembung yang sangat besar untuk kamu naiki di dalamnya. Agar kamu tahu bagaimana rasanya menjadi gelembung udara,” janjiku.

            Dua tahun setelah siang itu, di siang yang sama, di halte yang sama pula, aku dan Taka kembali berbicara soal gelembung. Segalanya sama, kecuali seragam putih biru yang kini membalut tubuh kami yang beranjak remaja, juga pola pikir kami yang mulai berubah.